Kebangkrutan Nasional
Butet Kartaredjasa
“Wuaduh, ini benar-benar Kebangkrutan Nasional. Maunya memperingati Seabad Kebangkitan Nasional dengan menempuh Jalur Merah Putih sepanjang 1908 kilometer, lha kok malah jadi korban dari buruknya kondisi jalan raya,” gerutu Mas Celathu setelah mendengar kabar duka gugurnya Sophan Sopian, seorang nasionalis sejati yang berpredikat aktor, dalam kecelakaan tunggal di atas moge, motor gede.
Mas Celathu terperangah. Seperti tak percaya menghadapi tragedi ini. Suami aktris Widyawati yang menjadi simbol dan keteladanan keluarga artis nan rukun itu, harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengenaskan. Hanya lantaran menghindari lubang yang menganga di jalan raya di desa Widodaren, antara Ngawi-Sragen, Jawa Tengah.
Rasanya masih terngiang di kuping Mas Celathu ketika 18 Maret lalu, dalam sebuah talkshow di Mulia Hotel Jakarta, Mbak Widyawati rerasanan dengan Mas Celathu saat menunggu giliran bicara di panggung,”Oooalah Mas,….. sekarang bojoku benar-benar frustasi. Dulu dia berharap bisa ikut mendadani bangsa dan negara ini dengan jadi politikus. Makanya dia mau jadi wakil rakyat. Jadi orang partai. Tapi ternyata bosok kabeh. Kapoklah dia.”
Lalu perempuan yang tetap indah di usia lebih setengah abad itu menceritakan, betapa sekarang suaminya lebih enjoy di dunia lawas-nya: dunia kesenimanan yang menjadikannya beken dan terhormat sebagai seorang aktor. Sophan seperti menemui jalan buntu di jagad politik. Padahal semestinya di situ dia bekemungkinan berjuang dari dalam. Selalu begitu alasan artis atau aktivis LSM yang terjun ke kancah politik.
“Berjuang dari dalam” laksana mantra yang bisa memuluskan ambisi kejuangan seseorang. Seakan-akan medan politik hanya dihuni oleh mereka yang berhati resik, memihak wong cilik, pantang korupsi, peduli lingkungan, dan benar-benar tulus ingin menyelamatkan masa depan bangsanya. Jika memang demikian adanya, kenapa Bung Sophan Sopian “frustasi” dan mengkompensasikan frustasinya dengan menunggang moge? Ada apakah gerangan yang terjadi di jagad politik Indonesia?
Bagi manusia macam Sophan yang tulus dan bersungguh-sungguh ingin menumpahkan bakti bagi bangsaya, pasti tak betah berada di antara gemuruh para kurawa yang cecakilan main siasat dan akal-akalan. Dan sejarah pun mencatat, Sophan mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai anggota parlemen. Sebuah sikap dan pilihan langka, karena lazimnya orang pengin berlama-lama nongkrong di kursi empuk Senayan. Bukankah sudah menjadi rahasia umum, di sana kerap terdengar bagaimana para rakuswan dan rakuswati (maksudnya: para manusia rakus) sibuk memperjualbelikan pasal undang-undang?
“Sekarang sampeyan saya ingatkan. Kalau nanti frustasi, kecewa karena apa saja, jangan sekali-kali naik motor gede,” kata Mbakyu Celathu ketika menyaksikan suaminya lenger-lenger lantaran kaget mendengar berita duka itu.
“Moge? Wuuuaaaalah,…. mbok kamu itu jangan ngece. Memangnya kita gablek duwit apa, kok berani-beraninya membayangkan aku naik moge,” jawab Mas Celathu yang memang berdompet cekak. Lagian, kata Mas Celathu lagi, andaikan pun pundi-pundinya memungkinkan dia beli moge, dia tak akan melakukan hal itu.
“Kesannya, gimana gitu. Moge itu kan tunggangan orang yang turah duwit,” ujarnya beralasan.
Menaiki kendaraan import yang harganya ratusan juta, bahkan milyaran rupiah itu, menurut Mas Celathu – tentu bukanlah memfungsikan hakekat alat transportasi yang sebenarnya. Bukan sebagai sarana untuk mobilitas kerja, berpindah dari satu tempat ke tempat lain secara cepat. Tapi lebih dimaksudkan untuk mengundang decak kekaguman, betapa penunggangnya adalah orang perkasa dari kaum berpunya. Dan adi kuasa. Bukankah di jalanan, terkadang moge selalu minta diistimewakan. Bahkan diijinkan melanggar undang-undang lalu lintas dengan pengawalan polisi, seperti sering terjadi rombongan moge menerabas jalan tol di Ibukota. Gimana itu? Melanggar undang-undang kok malah dapat pengawalan dari yang berwenang?
“Apalagi sekarang ini. Lha wong sementara rakyat masih deg-degan dengan rencana kenaikkan harga BBM, kok malah pamer pemborosan BBM dengan numpak moge kemana-mana. Kalau ketemu demo mahasiswa kan bisa dikerjain,” dalih Mas Celathu.
“Tapi sampeyan jangan sinis gitu dong. Orang kan bebas berekspresi. Kalau mereka merasa afdol mengekspresikan dirinya dengan moge, kan tidak dilarang? Memangnya salah?” Mbakyu Celathu menyergah sok bijaksana.
“Ya tidak salah. Cuma saya ngak selera, selain memang ndak gablek. Kan tidak dilarang ta. Memangnya salah?”
Memang tidak ada yang salah. Andaikan nantinya Mas Celathu ingin mengekspresikan frustasinya dengan menggenjot sepeda onthel keliling Pulau Jawa, ya boleh-boleh saja. Malah menyehatkan, bisa membakar jutaan kalori. Begitu pun politisi sekaligus aktor Sophan Sopian naik moge, juga bukan kesalahan. Masing-masing tindakan itu sah dan dijamin undang-undang.
Yang jelas-jelas salah, kenapa jalanan raya kita selalu bopeng dan menyisakan lubang di mana-mana? Mas Celathu menggugat dalam hati. Setiap melihat lubang menganga di jalan raya, yang terbayang dalam benak Mas Celathu adalah barisan para pemborong dan kontraktor sedang antri menyetor upeti ke para pimpinan proyek. Penyunatan anggaran dan wajah bopeng jalan raya kita, adalah dwi tunggal yang tidak terpisahkan.
Namun, Propinsi Jawa Tengah tak perlu minder atawa rendah hati. Perkara jalan raya pating jeglong bak kubangan kerbau, bukan hanya monopolinya Mantingan, Sragen dan jalur utama Pantura, pantai utara Jawa Tengah. Jalan-jalan protokol di Ibukota pun setali tiga uang.
Percayalah, jalan berlobang menganga adalah bagian dari jati diri bangsa. Tak ada jalanan raya di sekujur persada Indonesia, terbebas dari kejahatan penyunatan anggaran. Bahkan semakin berlubang semakin produktif megurangi jumlah penduduk lantaran korban tewas pada berjatuhan.
Nah, jika para pemimpin ingin mempertahankan “jati diri” ini dengan membiarkan kubangan-kubangan di jalanan itu memanen korban, tanggal 20 Mei ini segeralah ubah peringatan Seabad Kebangkitan Nasional menjadi Kebangkrutan Nasional. Merdeka!!!***
Disadur dari detik