Selain Blue Energy, Ada Juga Banyugeni dari Yogya
Bagus Kurniawan - detikcom
Yogyakarta - Ternyata penemuan Blue Energy atau bahan bakar air oleh Joko Suprapto bukanlah satu-satunya. Ada juga bahan bakar air yang ditemukan dan dikembangkan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yang diberi nama 'Banyugeni'. Blue energy dan Banyugeni seharusnya bisa menjadi bahan bakar alternatif.
Banyugeni atau Hidro-Kerosin ini dikembangkan oleh tim peneliti dari Tim peneliti dari Pusat Studi Pengembangan Energi Regional (Pusper) UMY. Tim yang terlibat penelitian sejak tahun 2007 adalah Drs Purwanto (konsultan ahli), Ir Bledug Kusuma Prasadja MT, Ir Tony Haryadi MT, Ir Lilik Utari MS, dan Dra Nike Triwahyuningsih.
Bahan bakar air atau sering disebut hydrofuel ini akan dipatenkan dengan merek BanyugeniTM. Menurut Rektor UMY, Dr Khoiruddin Bashori, merek Banyugeni sudah dipatenkan dan sudah didaftarkan di kantor Ditjen HAKI Depkum dan HAM dengan nomor 00.2008.004866. Sedang teknologinya saat ini masih dalam proses paten.
Peluncuran produk hidro kerosin pertama kali dilakukan pada tanggal 13 Februari 2008 di Kampus Terpadu UMY di Tamantirto, Kasihan Bantul. Waktu itu, rektor bersama Bupati Bantul Idham Samawi menyalakan kompor dan lampu minyak dengan Banyugeni. Hasilnya kedua alat itu bisa menyala seperti saat dinyalakan dengan minyak tanah.
Selain kompor dan lampu teplok, uji coba bahan bakar baru itu dilakukan dengan mesin traktor, sepeda motor, dan pesawat aeromodeling. Untuk pesawat ultra ringan diujicobakan pada pesawat tipe Jora Rotax 582 di LPLP Solo pada
tanggal 11 Februari. "Semua alat yang diisi hidro-kerosin bisa menyala dengan baik," kata Rektor UMY kepada detikcom, Jumat (23/5/2008).
Menurut dia, hasil penemuan tim UMY ini sudah diminati banyak perusahaan. Mereka menawarkan kerjasama dengan bantuan modal yang sangat besar. Namun sampai sekarang, UMY belum bersedia dengan alasan masih perlu pengembangan yang lebih baik, sehingga bisa maksimal.
Hasil itu juga sudah diuji di sebuah laboratorium internasional, yakni PT CoreLab Indonesia. Hasilnya secara meyakinkan menunjukkan bahwa biofuel tersebut telah memenuhi standar bahan bakar BP Migas.
BanyugeniTM mempunyai varian produk berupa hidro-kerosin (setara dengan minyak tanah), hidro-diesel (setara solar), hidro-premium (setara bensin), dan hidro-avtur (setara bahan bakar jet).
Air untuk Bahan Bakar
Secara ilmiah penggunaan air untuk bahan bakar sebenarnya sangat masuk akal. Air terdiri dari hidrogen dan oksigen, yang merupakan dua unsur yang mudah terbakar. Air yang digunakan untuk membuat minyak itu adalah air tawar biasa, yang diolah lewat teknologi mekanotermal-elektrokimia.
Prosesnya melalui empat tahap, yakni mekanis, termal (pemanasan), elektris, dan kimiawi. Namun, Purwanto - salah seorang konsultan ahli dalam tim ini - masih merahasiakan campuran yang digunakan dalam proses kimiawi karena teknologi itu belum dipatenkan.
Meski berbahan dasar air, hidro-premium tidak korosif atau menimbulkan karat. Bahan bakar ini juga tidak meninggalkan residu, cuma 0,5 persen dari maksimum 2,0 persen volume yang diizinkan.
Kandungan bahan pencemar emisinya sangat rendah. Kandungan sulfur dari gas buang hanya 0,03 persen wt dari maksimum 0,05 persen wt yang diizinkan, serta kandungan timbal (Pb) hampir nol, dari batas tertinggi 0,013.
Pengujian terhadap pesawat aeromodeling menunjukkan bahan bakar ini bisa memasok tenaga cukup besar, di atas 16 ribu rpm. Hidro-avtur yang digunakan juga tidak korosif dan beremisi rendah, total sulfur hanya 10 persen dan
tidak mudah membeku (titik beku - 45 0C).
Pada pengujian terhadap pesawat aeromodeling, bahan bakar ini dapat digolongkan sebagai bahan bakar jet dan akan tetap bersifat dingin (cool-fuel), memiliki IBP (titik didih awal) 164 0 C.
Hidro-diesel juga tidak korosif. Titik didih awalnya 201 0 C, emisinya rendah dan tidak meninggalkan residu berlebihan, dengan indeks cetane 51,3.
Hasil pengujian terhadap hidro-kerosin juga memperlihatkan bahwa bahan bakar ini tidak beracun dan tidak beremisi pada pengujian dengan lampu minyak. Hidro-kerosin tidak menimbulkan asap jelaga yang berlebihan.
Jadi, penemuan Joko Suprapto terhadap Blue Energy, sebenarnya bukanlah hal eksklusif, karena peneliti UMY juga menemukan hal sama. Baik Blue Energy atau Banyugeni hingga saat ini belum diproduksi massal. Padahal, bila kedua produk ini bisa diproduksi massal, kemungkinan bisa menjadi bahan bakar alternatif seiring dengan tingginya harga bahan bakar minyak.
Alih-alih untuk memproduksi secara massal, Joko Suprapto saat ini masih raib. Dia dikabarkan diculik. Keberadaan Joko hingga saat ini masih gelap.
( bgs / asy )