Blue Energy

Direktur di BPPT:
Seperti yang Saya Duga, Blue Energy Hal yang Umum
Nograhany Widhi K - detikcom


SBY memantau gas buang blue energy 25 November 2007 (presidensby.info)

Jakarta - Sarana Harapan Indocorp (SHI) yang akan memproduksi, memasarkan dan mendistribusikan blue energy meluruskan bahwa produknya bukan dari air, melainkan substitusi hidrogen pada rantai karbon tak jenuh.

Jika demikian adanya, maka blue energy bukanlah teknologi yang istimewa. "Seperti yang saya duga, itu hal yang umum," ujar Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto.

Menurutnya, membuat energi dari rantai karbon tak jenuh itu paling gampang. "Sama gas hidrogen makanannya," ujarnya pada detikcom, Rabu (28/5/2008).

Unggul mengatakan rantai karbon itu bisa didapatkan dari zat yang memiliki struktur kimia hidrokarbon tak jenuh yang terdapat pada aspal, minyak nabati, batubara, dan kayu.

"Rantai karbon biasanya nggak dipakai. Pakai CO2 bisa cuma perlu hidrogen. Harus ada hidrogen itu, bagaimana membuat hidrogen murah," kata dia.

Cara Mendapatkan Hidrogen

Unggul pun menjelaskan ada 3 cara untuk mendapatkan gas hidrogen. Pertama, memakai batubara. Batubara digasifikasi sehingga menjadi gas H2 (hidrogen) dan CO (karbonmonoksida). Setelah itu H2 dan CO dicairkan dan direaksikan melalui 1 katalis sehingga menjadi BBM sintetis.

Cara kedua, imbuh dia, dari gas alam yang mempunyai struktur kimia CH4 atau metan. "Dengan parsial oksidasi, direaksikan dengan oksigen dan uap air," jelas Unggul.

Cara ketiga, memakai air yang dielektrolisa sehingga terpisah antara H(+) dan O(2-). "Tapi ini adalah cara yang paling mahal. Makanya saya heran kalau pakai air. Karena biayanya 2 kali lipat dari 2 cara tadi," kata dia.

Elektrolisis air mahal, lanjutnya, karena memakai listrik. "Tergantung listriknya. Kalau listriknya gratis nggak apa-apa. Umumnya sekarang pasti mahal. Karena untuk membikin listrik dari pembangkit listrik seperti di PLTA Suralaya saja efisiensinya 40 persen. Sisanya terbuang," kata dia.

Ketika ditanya sumber listrik yang lain, seperti aki, Unggul mengatakan tidak mungkin karena terlelu kecil dan tidak efisien.

Biomassa

SHI juga berprinsip bahwa penelitian energi alternatifnya bebas dari fosil sebagai sumber energi. Juga tak memakai bahan bakar nabati yang bersinggungan dengan isi perut.

Lantas bagaimana bisa lepas dari ketergantungan fosil untuk menghasilkan hidrogen?

"Pakai biomassa. Seperti limbah kayu, sekam padi, sabut kelapa, tandan kelapa sawit kosong, tempurung kelapa. Prosesnya sama seperti gasifikasi batubara. Menjadi biomass to liquid," kata dia.

Biomassa ini, imbuhnya, sedang dikembangkan negara Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Kendalanya, adalah suplai bahan baku.

Bagaimana dengan kondisi Indonesia yang agraris dan banyak menghasilkan bahan biomassa? "Ya mahalnya biomassa itu kan biaya untuk mengumpulkan karena keberadaannya tersebar. Tapi bukan tidak mungkin," ujar dia. ( nwk / nrl )